Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kreativitas Dalam Pendidikan Islam




Sebelum membahas mengenai kedudukan kreativitas dalam Pendidikan Islam seyogyanya kita pahami terlebih dahulu mengenai istilah Pendidikan Islam. Menurut Ahmad D. Marimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Dr. Ahmad Tafsir merumuskan definisi pendidikan secara lebih luas yaitu bahwa dalam proses menuju perkembangan yang sempurna itu seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh orang lain (pendidik), ia juga menerima pengaruh (entah bimbingan, entah bukan, tidak menjadi soal) dari selain manusia. Pendidikan juga dapat diterima dari kebudayaan, alam fisik, dan sebagainaya.
Hal ini senada dengan pandangan Lodge bahwa education is life, life is education (pendidikan adalah kehidupan, kehidupan adalah pendidikan). Sedangkan kata “Islam” dalam kata “Pendidikan Islam” menunjukkan bahwa warna atau nuansa pendidikan tersebut adalah Islam. Yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam. Jadi yang dimahsud dengan Penddikan Islam adalah pendidikan yang dibangun berdasarkan ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam dua sumber ajaran Islam, yaitu al Qur’an dan Hadis.
Pendidikan Islam dapat diberikan melalaui berbagai media, baik media pendidikan formal (di sekolah), pendidikan informal (keluarga), atau nonformal (masyarakat). Penelitian tentang kreativitas dimulai dari Galton yang memulainya dengan meneliti orang-orang genius pada tahun 1869. Saat itu ia mencoba meneliti cara kerja fungsi mental para pemimpin dan orang-orang yang berhasil mengetengahkan ide-ide cemerlang (kreatif). Sehubungan dengan hal itu maka penelitian Galton dianggap penting dalam upaya para ahli memahami kreativitas, meski tidak berhasil secara penuh untuk menciptakan teori dan definisi yang mantap.
Kreativitas baru mendapatkan perhatian yang lebih serius setelah perang dunia II, yang ditandai dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para psikolog seperti Guilford, Torrance, Mc Kinon, Renzuli, Hopkin, Andrew.
Di dalam Islam sendiri, secara normatif Islam sangat menghargai dan mendorong umatnya untuk berkreativitas. Ada perbedaan tantangan dan kebutuhan antara generasi dahulu dengan generasi sekarang, begitu pula dengan generasi sekarang dengan generasi yang akan datang. Oleh karena itu ada baiknya kita merenungkan nasihat Umar Bin Khattab r.a. kepada para pendidik sebagai pijakan akan perlunya pendidikan kreatif : ’Allimu Auladakum Makhluqun Lizamanin Ghairi Zamanikum (‘Didiklah anak-anakmu dengan pengajaran yang baik, sebab ia diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan zamanmu’)”.
Ucapan di atas mendorong kita untuk mempersiapkan anak- anak agar menjadi orang yang kreatif. Dampak percepatan penemuan teknologik ternyata telah banyak merombak banyak institusi dan organisasi sosial kemasyarakatan. Terjadilah perubahan yang sangat cepat digambarkan oleh Tofler dengan memperbandingkan revolusi dari gelombang pertama (yang agraris) ke gelombang ke dua (yang industri) membutuhkan waktu ribuan tahun, dan gelombang ke dua ke gelombang ke tiga (yang informatik) membutuhkan waktu ratusan tahun; sedangkan gelombang ke tiga baru berlangsung tahunan telah menghasilkan sesuatu yang lebih hebat dari hasil ratusan tahun gelombang ke dua. Percepatan ini menjadikan program pendidikan cepat usang dan pengetahuan seseorang cepat tertinggal.
Di zaman yang berubah sangat cepat seperti sekarang ini pendidik tidak bisa dan tidak cukup hanya memberi setumpuk teori dan pengetahuan yang harus dicatat di dalam buku catatan dan dihafalkan di dalam ingatan karena belum tentu pengetahuan tersebut akan berguna di masa depan (Karena zaman kita berbeda dengan zaman mereka). Pada orang kreatif yang bekerja adalah otaknya, bukan ingatannya. Dengan memberi bekal kreativitas berarti mendidik anak kita untuk mandiri, tidak tergantung dengan orang lain, luwes, berkualitas, inovatif dan dapat maju seiring dengan perubahan zaman yang dinamis. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa agama menuntut umatnya untuk mentaati aturan dan norma-norma secara mutlak dengan mengesampingkan akal fikiran dan penalaran. Sehingga yang terjadi kemudian adalah kreativitas mandeg dan tidak berkembang. Pendapat seperti ini tentu saja tidak benar. Agama Islam diciptakan Tuhan bertujuan agar kehidupan manusia menjadi lebih baik. Islam memang memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh pemeluknya , tapi norma tersebut tidak membatasi manusia untuk berkreativitas. Islam justru memerintahkan umatnya untuk selalu berfikir menggunakan akal fikiran. Allah selalu memerintahkan umatnya untuk berfikir: 
كذالك يبين الله لكم الأيت لعلكم تتفكرون  
219. … Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
Mustafa al Maraghi menafsirkan ayat ini sebagai seruan Allah kepada manusia agar ia memikirkan kehidupan dunia dan ahirat secara bersamaan, dengan demikian maka akan tercipta maslahat pada diri manusia. Karena kemampuan berfikir inilah manusia mampu berkreativitas.
Apabila kita merujuk kembali pada pengertian kreativitas yang dikemukakan oleh Utami Munandar bahwa kreativitas adalah kemampuan berdasarkan data yang ada untuk membuat kombinasi baru. Yang dimaksud dengan data disini adalah pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh seseorang selama hidupnya yang tentu saja tidak bisa dipisahkan dari aktifitas berfikir. Urgensi berfikir ini juga nampak dalam proses untuk menghasilkan produk kreatif. Untuk menghasilkan karya kreatif seseorang harus mempunyai kepekaan terhadap kesenjangan dan kekurangan yang hanya bisa dilihat dengan cara berfikir kemudian menganalisis dan mencari jawaban.
Kita dapat membandingkan pola berfikir dan tingkah laku masyarakat primitif dan modern dalam mengatasi problem kehidupannya. Masyarakat primitif dengan wawasan dan pemikirannya yang sangat terbatas baik mengenai diri dan alam sekitarnya, sangat terbatas pula kreativitasnya. Sebaliknya masyarakat modern karena fikiran dan wawasannya yang semakin luas maka semakin luas pula kreativitasnya.
Jadi semakin manusia menggunakan akalnya untuk berfikir semakin luas pula wawasan dan pengetahuannya. Dan seiring dengan kemajuan pemikirannya berkembang pula kreativitasnya untuk mencipta berbagai perangkat kehidupan untuk kesejahteraan hidupnya.
Dalam ayat lain Allah berfirman bahwa Ia tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum tersebut yang merubahnya:
إن الله لايغيرما بقوم حتى يغيرواما بأنفسهم 

Sesunguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada mereka sendiri.(QS. Ar Ra’d: 11).
Menurut Teuku M. Hasbi ash Siddieqi, Allah tidak akan merubah nikmat dan afiat dari suatu kaum kecuali mereka sendiri yang merubahnya.
Sebaliknya Allah tidak akan merubah penderitaan suatu kaum kecuali kaum tersebut mau berusaha memperbaiki nasibnya. Dengan kata lain nasib manusia terletak ditangannya sendiri (usaha yang dilakukan).
Masalah yang dihadapi oleh umat manusia akan semakin banyak dan komplek, satu-satunya jalan yang harus dilakukan adalah dengan memecahkannya. Dengan akal yang telah diberikan kepadanya manusia mempunyai kesempatan yang sangat luas untuk berkreasi dan berusaha memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dan tentu saja usaha yang sukses akan memerlukan pemikiran dan usaha yang keras. Sebagaimana diungkapkan oleh Thomas Edison bahwa kreativias terdiri dari 1 % inspirasi dan 99 % keringat (usaha dan kerja keras). Islam sangat mendorong individu secara terus menerus untuk belajar ilmu pengetahuan yang berarti mengajarkan individu untuk selalu terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari luar (merupakan salah satu ciri kreativitas). Ini menunjukkan perlunya sikap keterbukaan untuk menuntut ilmu dan menerima ilmu dari manapun datangnya.
Jika dibandingkan dengan mahluk-mahluk Allah yang lain, manusia adalah mahluk yang paling sempurna, baik secara fisik ataupun psikis. Dalam perjalanannya di muka bumi, manusia mempunyai 2 tugas pokok yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah Allah. Sebagai Abdullahatau hamba Allah tugas manusia adalah mengabdi dan beribadah kepada Allah dengan memberikan secara total dan keseluruhan semua ketaatan, ketundukan dan kepatuhan hanya kepada Allah. Sedangkan tugas sebagai Khalifatullahatau khalifah Allah adalah merupakan realisasi dari pengembangan amanah dalam arti: memelihara, memanfaatkan, atau mengoptimalkan penggunaan semua anggota badan, alatalat potensial (termasuk potensi kreatif), guna penegakan keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup. Dengan mengemban tugas sebagai khalifah Allah di bumi manusia memikul amanat yang sangat besar dan berat. Dan dalam usaha untuk melaksanakan amanat tersebut Allah membekali manusia dengan potensi dasar (di antaranya adalah potensi kreatif) yang masih berupa potensi terpendam. Jika pengertian ibadah ini dihubungkan dengan pengertian khalifah sebagaimana diuraikan sebelumnya dapat diperoleh pemahaman, yaitu bahwa khalifah adalah pengganti yang memegang kepemimpinan dan kekuasaan dari yang digantikan. Sebagai seorang pemimpin dan penguasa ia mempunyai kewenangan dan kekuasaan untuk menentukan pilihan dan bebas menggunakan akalnya. Sedangkan Abdadalah seorang yang telah kehilangan wewenang untuk menentukan pilihan dan kebebasan untuk berbuat. Esensi seorang Khalifatullah adalah kebebasan dan kreativitas, sedangkan Abdullah adalah ketaatan dan kepatuhan.
Dengan penekanan agar manusia bisa melakukan amanah kekhlifahan dengan baik maka manusia dianugerahi potensi dan sekaligus kebebasan untuk mengoptimalisasikan potensi yang dimilikinya termasuk potensi kreatif, dengan seluas-luasnaya melalui proses pendidikan. Aktualisasi potensi kreatif ini menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari mengingat kehidupan manusia selalu berkembang dan penuh dengan tantangan-tantangan yang membutuhkan pemecahan secara kreatif. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kreativitas adalah merupakan potensi dasar yang menurutpsikologi behaviorisme disebut prepotence reflexes atau yang dalam pandangan Islam disebut fitrah.
Fitrah  manusia dengan segala potensinya merupakan conditional statement(citra bersyarat) dan aktualisasinya menurut upaya manusia untuk mengembangkannya. Artinya fitrah atau potensi manusia tidak akan berkembang dengan baik jika tidak dirangsang dengan lingkungan yang kondusif. Potensi dasar atau fitrah dapat diaktualisasikan dan dikembangkan melalui proses Pendidikan Islam. Jadi Pendidikan Islam bertugas menggali, mengembangkan, membimbing dan mengarahkan potensi kreatif manusia agar bisa terwujud secara maksimal. Urgensi pendidikan dalam mengembangkan krativitas akan lebih jelas bila kita melihat fungsi pendidikan daripendekatan Sosiologi dan Antropologi Budaya yaitu fungsi pendidikan dilihat dari fenomena yang muncul dalam perkembangan peradaban manusia dengan asumsi bahwa peradaban manusia senantiasa tumbuh dan berkembang melalui pendidikan. Peradaban masyarakat manusia dari masa ke masa semakin berkembang maju, dan kemajuan itu diperoleh dari interaksi komunikasi sosialnya. Semakin intens interaksi sosialnya semakin cepat pula perkembangannya.
Kedalaman dan keluasan interaksi manusia semakin bertambah dengan semakin berkembangnya teknologi informasi seperti radio, televisi, surat kabar dan lain-lain. Aneka ragam informasi dapat diterima dalam waktu sesaat sehingga wawasan manusia semakin luas baik mengenai peristiwaperistiwa alam maupun masalah manusia dan sekitarnya. Semakin luas wawasan seseorang semakin maju pula pemikirannya, dan seiring dengan kemajuan pemikirannya berkembang pula kreativitasnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari segi Antropologi Budaya dan Sosiologi fungsi pendidikan yang pertama adalah menumbuhkan wawasan yang tepat mengenai manusia dan alam sekitarnya, sehingga dengan demikian dimungkinkan tumbuhnya kreativitas yang dapat membangun diri dan lingkungannya.
Untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, potensi kreatif harus diasah melalui proses pendidikan yang baik. Pertanyaannya adalah, pendidikan yang bagaimana yang dapat mengembangkan kreativitas? Pendidikan yang dapat menumbuh kembangkan krativitas adalah pendidikan yang terbuka. Artinya pendidik, baik guru atau orang tua harus terbuka terhadap realitas anak yang memerlukan kemerdekaan, kebebasan, kegembiraan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Begitu pula sebaliknya anak harus diberi kesempatan untuk terbuka dalam arti bebas mengeluarkan fikiran, pendapat dan keluhannya dalam rangka melatih dan menemukan jati dirinya. Keduanya, guru dan murid harus terbuka terhadap realitas sekitar yang dapat dimanfatkan sesuai kepentingan pendidikan, atau perlu ditolak karena dapat menghambat pencapaian tujuan pendidikan.
Tetapi sangat patut kita sayangkan realitas menunjukkan bahwa ternyata kreativitas belum mendapatkan tempat yang layak dalam Pendidikan Islam, terutama pendidikan formal. Unsur kreativitas, diskusi,  problem solving, discovery masih menjadi “barang langka” dalam proses belajar mengajar. Sebaliknya guru sebagai ujung tombak dalam pendidikan menempatkan dirinya sebagai orang yang serba tahu dan paling mengetahui.
Murid hanya mendengar, mencatat dan menghafalkan apa yang disampaikan oleh guru yang belum tentu akan berguna di masa mendatang. Oleh karena itu tidak heran bila kreativitas siswa menjadi mandeg bahkan mati, tidak mandiri, miskin imajinasi dan eksplorasi. Siswa memang kaya akan teori, tapi tidak tahu untuk apa teori tersebut digunakan. Mereka terampil menyelesaikan berbagai persoalan yang telah dihafalkan tehnik penyelesaianya, tapi akan kebingungan bila dihadapkan pada kasus baru yang membutuhkan cara penyelasaian baru pula. Akibatnya mereka menjadi tumpukan manusiamanusia yang tidak mandiri dan kreatif.
Sistem Pendidikan Islam sedikit banyak belum begitu berhasil membentuk muslim yang kreatif yang dapat maju seirama dengan lajunya perubahan. Kebanyakan ilmuan Islam enggan mengkritisi pemikiran ulama klasik. Mereka menganggap bahwa hasil pemikiran mereka adalah sesuatu yang sudah final, sehingga keilmuan tidak bisa berkembang, kecuali hanya mengulang yang telah ada. Dengan besikap kritis dan kreatif umat Islam akan berani keluar dari jeratan tradisi yang membelenggu untuk kemudian berani mengambil inisiatif untuk mengembangkan kreativitas keilmuannya dengan penuh rasa percaya diri. Anak didik bukanlah botol kosong yang harus dijejali dengan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya oleh pendidik, tetapi lampu yang harus dinyalakan (dikembangkan potensinya). Islam sangat menghargai dan mendorong umatnya untuk berkreativitas. Lima ayat pertama yang diwahyukan Allah(al Alaq) bisa ditafsiri sebagai seruan penelitian bagi manusia. Membaca tentu bukan hanya membaca dalam arti konfensional, tapi juga membaca alam semesta dengan segala fenomenanya.
Dialog antara Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail seputar mimpi sang ayah, dimana Ibrahim tidak memaksakan kehendaknya untuk melaksanakan mimpi benar itu, melainkan berdialog dahulu dengan bebas. Islam pula yang mendorong umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan dengan segala kemampuannya. Perintah Nabi untuk belajar sampai ke Cina, konsep belajar seumur hidup juga dipandang sebagai dorongan bagi sikap kreatif.


Sumber Bacaan :  
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif, 1980.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Pendidikan Islam, Bandung: Ramaja Rosda Karya, 2004.
Noeng Muhajir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.
Depag R.I., Al Quranul Karim dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1997.
Ahmad Mustafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, Semarang: Toha Putra, 1984.
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media, 1992.
Teuku Muhammad Hasbi as Siddieqi,Tafsir al Qur’anul Majid an Nur, Semarang: Pustaka Rizka Putra, 2000.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung:  Remaja Rosda Karya, 2000.
Abdurrahman Mas’ud, “Diskursus Pendidikan Islam Liberal”, Edukasi, Vol 1, X, Desember, 2002, hlm.23.

Posting Komentar untuk "Kreativitas Dalam Pendidikan Islam"