Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan di Tengah Pandemi: Ketika Orang Tua, Guru dan Murid Berkeluh tentang Belajar


Tsunami Corona telah berhembus memporakporandakan tatanan kehidupan dunia. Seluruh sisi kehidupan dipastikan babak belur karena pukulannya: sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, semua menangis mengeluhkan luka. Dan bangsa-bangsa mulai melihat wajahnya yang sesungguhnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut terlilit dalam tsunami itu juga merasakan hal yang sama. Sebagai seorang pendidik, saya ingin menyampaikan ‘luka pendidikan’ dari tsunami tersebut.

Sudah lebih dari dua bulan, sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk belajar dari rumah, gurat-gurat problematika mencuat, dan realitas yang selama ini tertutup seolah bangkit dari persembunyian. Setelah badai Corona menderu, kita jadi melihat begitu mengenaskannya pendidikan kita, wajahnya yang kusam, serta tubuhnya yang lemah dan tak punya bentuk yang mapan.

Persoalan yang dialami dunia pendidikan di masa pandemi ini secara nasional bisa disebut sangat kompleks. Kenyataan ini telah membuka tabir tentang jarak yang teramat menganga antara lembaga pendidikan maju dengan yang masih belajar berpacu. Lembaga-lembaga pendidikan di pinggiran dihadapkan dengan realitas pelik dimana tuntutan kurikulum tak mampu terkejar karena segala keterbatasan. Akhirnya jadilah belajar dari rumah bermakna libur. Ketika lembaga pendidikan ingin belajar daring, suara-suara dari wali murid menyeruak: tidak ada alat elektronik, tidak ada pulsa, tidak ada layanan internet.

Di tempat lain suaranya berbeda (para guru berkeluh): kita sudah siapkan sistem, tetapi para siswa tidak ada yang serius melakukan pembelajaran online. Para wali murid tidak koperatif untuk mendorong anak belajar melalui media daring, ongkos belajar online sangat tinggi! Serta bebagai suara serupa yang keluar dari guru-guru di sekolah.

Sementara, suara lain juga bersahutan (ini dari kalangan wali murid): sekolah tidak profesional! Mereka menelantarkan anak-anak kita, mereka tidak becus untuk mengajar! Serta berbagai suara serupa yang memenuhi baik gedrang telinga maupun dinding maya.  

Kesimpulan dari suara-suara itu adalah : Kesemerautan! Sebagai guru, saya menengadahkan pandangan saya ke langit, dalam hati saya berdoa, agar Tuhan segera mengangkat wabah ini. Mengembalikan segala situasi yang mendorong keberlangsungan pendidikan Lihatlah, begitu rapuhnya peradaban kita: pendidikan, ekonomi, sosial, semua tidak ada apa-apanya, tsunami Corona telah memperlihatkan betapa sesungguhnya kita lemah!

Namun sebagai benteng kemanusiaan, pendidikan biar bagaimanapun harus hidup, harus kuat, harus bertahan dalam hempasan badai ini. Para guru, para siswa, para wali, mari kita sama-sama bekerjasama, untuk menuju dan meneruskan proses kemanusiaan kita: menyuburkan pendidikan selama-lamanya! Jangan lagi terpaku ruangan, jangan lagi terpaku pada buku cetakan, kita akses pendidikan dengan cara yang kita mampu. Para siswa belajarlah tidak hanya di sekolah, para guru mengajarlah melalui apapun agar ilmu tersalur, para orang tua, didiklah meski tanpa guru yang membimbing anak-anakmu. Pendidikan adalah tugas manusia untuk menjadi manusia sesungguhnya. Suatu tugas yang tak boleh terhenti, bahkan hingga bumi tak lagi mampu ditapaki.



Posting Komentar untuk "Pendidikan di Tengah Pandemi: Ketika Orang Tua, Guru dan Murid Berkeluh tentang Belajar"