Depolititsasi Kurikulum
Permasalahan klasik bangsa Indonesia yang masih blum selesai hingga
kini adalah tumpang tindih pergantian kurikulum pendidikan. Sejak kemerdekaan,
tercatat sepuluh kali pergantian. Terakhir kini kurikulum 2013 yang masih
menuai perdebatan yang alot di antara pemerintah maupun para ahli pendidikan. Tentunya,
pergantian ini akan menambah catatan panjang amandemen kurikulum yang rutin
dilakukan (seiring pergantian menteri pendidikan) namun dengan hasil yang masih
tetap saja buram.
“Mayarakat harus mengambil alih pendidikan kembali”. Pernyataan Herry
Priyono (2005) tersebut mengajak masyarakat untuk berperan dalam proses
keberlangsungan pendidikan, mengambil peran secara intelektual maupun
finansial. Ditambahkan oleh Herry, tumpang tindih konstitusi pendidikan seolah menjadikan
gerak masyarakat dalam tehnis di lapangannya menjadi terbatas. Kini,
permasalahan bukan hanya pada tataran konstitusi, tapi ditambah sikap apatisme beberapa
kalangan dalam mengkonstruk pendidikan nasional. Lengkap sudah karat rantai
roda pendidikan kita.
Kita tentu merasa heran, dari sekian perubahan kurikulum yang dilakukan
pemerintah namun dengan hasil yang nihil, dipertahankan dalam budaya negeri
ini. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di setiap kebijakan yang diambil tak
terlepas dari kepentingan politik, namun apakah hal-hal substansial juga harus
dikorbankan untuk kepentingan kelompok tertentu? Semua orang telah mafhum bahwa
pendidikan adalah hal yang sangat vital dalam proses perkembangan dan kemajuan
suatu Negara.
Apapun yang kini menjadi perdebatan tentang kurikulum baru, tetapi
ketika birokrasi telah mengetuk palu, maka segalanya akan tetap berjalan,
termasuk kurikulum 2013. Namun demikian sebagai bentuk kewajiban dan kepedulian
kita atas pendidikan nasional, kajian-kajian untuk perbaikan ke depan harus
tetap digalakkan.
Perubahan kurikulum, secara teori pendidikan memang merupakan sebuah
keniscayaan, di samping karena dinamisasi zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi lah yang memaksa perubahan. Hanya saja, kita merasa bingung dengan
perubahan yang diinginkan bangsa ini, karena tujuan, isi, strategi ataupun output
yang dikonsepsikan selalu belum nampak merata sebelum perubahan dilakukan.
Menurut Sudjana (1993) perubahan kurikulum dilakukan tatkala kondisi
subjek maupun objek pendidikan mengalami dinamisasi yang menuntut materi maupun
metode pendidikan dirubah. Maka dari itu, prosesi perubahan kurikulum
seharusnya tidak menjadi prosesi politis, namun benar-benar mengacu pada
persoalan yang ada. Sehingga sekian banyak rancangan kurikulum yang dikonsepsikan
tidak berujung dilematis.
Kesenjangan dalam bidang pendidikan ini, sungguh mengiris hati. Tiang
bangsa yang seharusnya kokoh ini seolah terus terkoyak dan mengalami retak yang
semakin hari semakin memprihatinkan. Birokrasi yang mengurus pendidikan dari
sisi konsep tidak maksimal. Jika demikian, maka bagaimana mungkin tataran
tehnis bisa efektif dan efisien? Telah banyak bukti akan hal tersebut.
Corat-marut UN tahun ini menjadi salah satu contohnya.
Seharusnya kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu, sekian perubahan
kurikulum cukuplah jadi rancangan kita ke depan. Tapi kenapa sekian kali kita
melakukan perubahan, gerak pendidikan kita seperti berjalan di tempat? Apa yang
salah dengan system pendidikan kita?
Secara substansi, kurikulum bangsa Indonesia telah cukup matang dan
sistematis. Dinamisasi yang bisa kita lihat dalam perkembangannya cukup menjadi
bukti bahwa bangsa Indonesia sudah cukup professional dalam merancang system
pendidikannya. Hanya saja, kapankah ketika berbicara pendidikan, disana
benar-benar berbicara dengan objektif tanpa ada kepentingan politik?
Jika menyimak latar perubahan kurikulum negeri ini, setting politik
begitu kental terlihat (terutama memasuki masa orde baru). Sehingga output yang
dirancang tak heran juga berujung kepentingan pilitis. Maka dari itu, sudah
saatnya membebaskan kurikulum dari politisasi. Kurikulum sebagai salah satu
komposisi vital dalam pendidikan seyogyanya digarap secara objektif.
Memang tidak bisa dipungkiri, regulasi politik tetap dibutuhkan dalam
proses perancangan kurikulum karena kita dalam Negara demokrasi yang
mengharuskan tataran politik yang sistematis, namun kita harus membatasi
hegemoni politik guna menjaga objektifitas dan kemurnian kurikulum yang akan
diterapkan.
Ada beberapa langkah yang patut dilakukan untuk meminimalisir hegemoni
politik dalam dunia pendidikan: Pertama, Negara harus tegas terhadap
para mafia yang bermain guna kepentingan kelompok tertentu dalam proses
rancangan pendidikan. Kedua, tidak mengangkat menteri berdasarkan warna
almamater (misalnya karena dia dari partai ini atau itu) tetapi melihat
kapasitas dia sebagai seorang yang kompeten dalam bidangnya (jika untuk menteri
pendidikan, paling tidak dia harus seorang yang ahli dalam hal pendidikan)
Selanjutnya, dibutukan kesadaran psikologis yang mendorong orang-orang
yang memiliki wewengan dalam menggerakkan laju pendidikan bangsa untuk selalu
bertindak objektif dan transparan dalam rangka menjaga kredibilatas mereka.
sehingga ini akan berdampak pada regulasi yang merata dan benar-benar
menghasilkan system pendidikan (kurikulum) yang berkesinambungan dan efektif.
Selain tiga hal di atas, pemerintah juga harus melibatkan masyarakat
dalam menunjang keberhasilan kurikulum. Jangan sampai kurikulum terkesan produk
yang ekslusif dan bersifat mutlak. Masyarakat hendaknya diberikan otoritas
untuk menelaah maupun menginterpretasikan kurikulum yang ada dengan
menyesuaikannya dengan kebutuhan lokalitas. Mekanisme ini akan berimplikasi
mewujudkan kurikulum yang demokratis (bukan politis).
Mengutip pernyataan Tukiman Tarumasayoga (2008), “apapun kurikulumnya,
yang terpenting adalah metode pembelajarannya”. Jadi memang sekian kurikulum
yang telah kita lalui, akan sama saja jika metode pembelajaran yang digunakan
tidak efektif. Dan adapun kini, sepertinya pernyataan Tukiman di atas harus
ditambahkan dengan “dan jangan ditunggangi kepentingan politik”. Kita telah
banyak terluka dan kecolongan karena campur tangan politik dalam bidang-bidang
kehidupan kita. Kini apakah kita akan membiarkan kurikulum kita juga menjadi
mangsa politik?
Keputusan penerapan kurikulum 2013 sudah final. Kini tinggal menunggu
pelaksanaanya saja. Meski telah terlanjur ditunggangi persoalan politik, namun
sebagai pengajar yang baik, harus tetap melaksanakan amanat bangsa dengan
sungguh-sungguh dan penuh tangguh jawab, sembari terus berdoa semoga kedepannya
kurikulum kita tidak lagi dicekoki racun politik.
Posting Komentar untuk " Depolititsasi Kurikulum"