Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dilema Gelar Kesarjanaan Perguruan Tinggi Islam

Dualisme akomodator pendidikan di Inodensia, DIKTI untuk perguruan tinggi negeri umum dan DIKTIS untuk perguruan tinggi Islam, tidak hanya membawa pada garis kordinasi yang cendrung mensekularisasi tradisi pendidikan, tapi juga memunculkan dilema bagi para alumni perguruan tinggi, terutama bagi para lulusan perguruan tinggi negeri Islam.

Penambahan kata “Islam” dalam gelar keserjanaan perguruan tinggi islam, memunculkan persoalan dalam tataran proyeksi profesi seorang alumni. Dalam beberapa kasus, termasuk yang dialami oleh banyak rekan saya, mereka sering kali menuai kekecewaan ketika melamar pekerjaan, dimana gelar kesarjanaan yang memiliki “embel-embel” islam diakhirnya sering kali dipertanyakan, apakah dengan alasan filosofis maupun formalitas profesional suatu pekerjaan.

Misalnya, seorang sarjana lulusan fakultas Syariah dari sebuah perguruan tinggi islam, yang mana gelar kesarjanaan mereka adalah “SH.I” sering kali ditolak ketika ingin masuk kepada lembaga pengadilan negeri. Alasannya cukup sederhana, gelar kesarjanaan tersebut dinilai sebagai gelar untuk tenaga ahli yang akan masuk ke pengadilan agama islam.

Kasus yang sama tidak hanya menimpa fakultas Syariah, mahasiswa Tarbiyah pun yang gelar keserjaannya adalah S.Pd.I sering kali mengalami kesulitan jika ingin melanjutkan studi ke kampus negeri yang orientasi keumumannya lebih kental, seperti kampus-kampus populer di negeri ini. hal tersebut tentulah merupakan persoalan dari proses pendidikan kita dewasa ini. jika hal ini terus dibiarkan, maka ketercekikan nasib para mahasiswa alumni perguruan tinggi islam akan terus berlangsung.

Dalam tulisan ini, saya tidak ingin memandang fenomena di atas sebagai persoalan pragmatis yang mungkin pembaca curigakan kepada saya, tapi tulisan ini lebih kepada kemirisan intelektual akan nasib ilmu pendidikan di masa depan. Bagaimana mungkin persoalan formalitas gelar mencegat seserorang sarjana untuk menimba ilmu ke sumber yang menurutnya lebih matang, yang mana hal ini seharusnya tidak boleh dihalang-halangan dengan alasan apapun. Saya menilai, dualisme pusat pendidikan secara kordinatif di negeri ini merupakan agenda sekularisasi keilmuan yang sistematis, yang mana para penggeraknya adalah orang-orang yang memiliki orientasi fanatisme golongan dalam karir intelektual mereka.

Salah satu alasan dipertahankannya penyisipan gelar keislaman dalam gelar formal akademik perguruan tinggi islam adalah keinginan untuk melihat sarjana islam di dunia ini. Secara “kasar” hal tersebut dilakukan agar eksistensi islam terlihat, yang memang memiliki tujuan moralitas di dalamnya. Artinya pencantuman gelar keislaman tersebut untuk memberikan beban moral kepada seorang alumni bahwa mereka adalah alumni perguruan tinggi Islam. Atau mungkin ada alasan lain yang digunakan orang-orang yang memiliki posisi di kementrian sana?

Barangkat dari persoalan di atas, saya ingin mengkritisi tentang penggunaan gelar kesarjanaan yang memberikan embel-embel islam di sampingnya. Saya menilai ini sebagai langkah formalisasi keilmuan islam yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Menurut saya islam bukanlah eksistensi formal yang butuh dituliskan pada papan nama maupun gelar kesarjanaan. Berikut alasan lengkap saya menolak embel-embel islam dalam gelar kesarjanaan perguruan tinggi islam.

Pertama, gelar kesarjanaan yang menyisipkan embel-embel islam sering kali memberikan persoalan di lapangangan ketika para alumni menginginkan untuk melanjutkan studi ataupun berkarir dengan gelar akademik mereka. ini tentulah langkah yang bisa menstagnasi keilmuan seseorang karena hakekat ilmu seharusnya dibiarkan berkembang sebebas-bebasnya.

Kedua, gelar kesarjaanaan tersebut kemungkinan akan memberikan implikasi parsialisme profesi di lapangan. Artinya gelar tersebut memberikan kesan bahwa “ini” adalah sarjana islam dan “itu” yang bukan sarjana islam. Takutnya, hal tersebut akan memunculkan primordialisme agama di masyarakat yang tidak jarang berujung konflik. Bukankah tujuan pendidikan itu adalah melakukan pengabdian kepada masyarakat tanpa pandang bulu?

Ketiga islam bukanlah diukur dari gelar formal seseorang, tapi sejauh mana dia di internalisasikan dalam diri seseorang yang termanifestasi dalam pekerjaan dan perbuatan mereka sehari-hari. Artinya tidak butuh pengakuan tertulis, karena islam mengalir dalam diri seseorang. Dalam hal ini saya sepakat dengan Fazlurrahman, dimana beliau berpendapat bahwa yang perlu diislamkan itu adalah orangnya, bukan keilmuannya. Dalam hal ini saya tambahkan, bukan pula gelarnya. Cukuplah islam itu dalam pengakuan seseorang berupa ketetapan hati dan lisan tanpa perlu dibawa kepada gelar kesarjanaan.

Tentang poin ketiga ini, saya ingin berbicara lebih lanjut. Bagi saya mahasiswa islam tidak membutuhkan gelar kesarjanaan islam, demikian pula masyarakat mereka, tapi justru mereka membutuhkan pendidikan keislaman yang menjadi karakter mereka. Dengan demikian, saya berkeinginan untuk menghilangkan kasus-kasus seperti di atas, Islam jangan diformalisasikan dalam penulisan gelar, tapi justru diinternalisasikan dalam diri seorang mahasisa perguruan tinggi Islam. Jadi tidak perlu takut apakah nanti sarjana islam tidak terlihat di dalam pengabdian sosial mereka, karena karakterlah yang akan menggambarkan hal itu.

Mahasiswa islam adalah mahasiswa yang selama proses belajarnya dididik dengan nilai-nilai keislaman dan moralitas yang luhur, sehingga dia akan benar-benar tampil dengan prilaku yang seperti Nabinya. Jadi keinginan untuk membentuk sarjana Islam, bukanlah dengan pengabadian gelarnya, tapi bagaimana menggodok mereka selama belajar untuk mencetak mereka menjadi sarjana yang khas islam.

Selanjutnya, dualisme gelar kesarjanaan dalam dunia pendidikan kita merupakan proses politisasi pendidikan yang terus berlangsung dan tidak diketahui kapan akan berakhir, maka saya pribadi ingin segera hal ini menjadi perhatian kita bersama. Berhentilah menjadikan pendidikan sebagai lahan untuk mengorientasi karir intelektual yang fanatis dan juga untuk mencari kepentingan-kepentingan materi. Lihatlah begitu banyak korban yang harus menderita karena perbuatan tersebut. Mahasiswa bukanlah lahan untuk melampiaskan keinginan doktrinasi yang sempit, dan juga untuk mencari kepuasan kepentingan perut, tapi merupakan lahan untuk memanusiakan manusia. Bukankah demikian prinsip pendidikan yang sesungguhnya?

Akhirnya, saya berharap bahwa pendidikan kita jangan lagi diparsialisasi seperti ini, termasuk gelar kesarjanaan yang sungguh-sungguh tidak memiliki landasan filosofis yang jelas, aturan tersebut jusru menciptakan problematika baru dalam dunia pendidikan. Seharusnya gelar kesarjanaan itu disamakan saja, apakah itu alumni perguruan tinggi umum atapun perguruan tinggi Islam, hal ini untuk kemudahan profesi juga untuk menunjang dinamika keilmuan secara utuh.

Malang, 2014

Posting Komentar untuk " Dilema Gelar Kesarjanaan Perguruan Tinggi Islam"