Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Guru dan Peran yang Mengabadi (Refleksi Hari Guru)

Pengaruh seorang guru adalah abadi, tidak ada yang tahu sampai kapan peran seorang guru akan terhenti. Demikianlah dikatakan oleh Henry Adam. Pernyataan tersebut menunjukkan bagaimana posisi seorang guru begitu peting dalam kehidupan manusia. Ini menunjukkan eksistensi guru yang memang selalu dibutuhkan selama keberlangsungan hidup umat manusia.

Melihat hal demikian, tentulah menjadi seorang guru adalah tugas yang sangat berat. Dia tidak hanya berkaitan dengan proses transfer pengetahuan dari seorang guru ke peserta didik yang berlangsung di dalam ruang kelas, bahkan proses mendidik itu mencakup hal-hal yang sifatnya tabiat hati. Ini untuk tetap mempertahankan manusia dalam koridor peradaban mereka.

Namun paparan di atas menjadi kontradiktif jika melihat apa yang terjadi dewasa ini yang mana hal tersebut mencakup kebobrokan mental peserta didik dengan menjamurnya sikap-sikap amoral yang terjadi. Tingkah-tingkah aneh seperti kejahatan seksual, tawuran, pencontekan dikala ujian dan sebagainya menjadi hal yang menyesakkan dalam keberlansungan pendidikan dewasa ini.

Perasaan-perasaan bersalah menyaksikan fenomena tersebut menjadi hal yang memenuhi kepala saya selama mengajar salah satu peserta didik di tempat saya. Awalnya saya memang tidak begitu ingin menjadi seorang tenaga pengajar yang formal di dalam kelas, tapi karena yang meminta saya untuk mengajar ini adalah keluarga, saya tidak punya cukup alasan untuk menolaknya, bahkan dengan cara halus sekalipun.

Pertama kali menyampaikan materi, saya merasa selalu ada yang kurang, perasaan apakah murid yang tengah saya didik bisa memahami atau tidak materi yang saya sampaikan, selalu memenuhi kepala saya, sehingga terkadang saya banyak mengulang materi untuk bisa benar-benar memastikan bahwa anak didik saya memahami materi dengan utuh. Ketidak perofesional seperti itu membuat kepercayaan diri saya sebagai seorang guru menjadi labil, saya tidak benar-benar profesional menjadi pendidik, padahal menjadi seorang guru butuh profesionalisme yang matang.

Beruntung saya memiliki seorang guru yang luar biasa. Dia seorang guru yang banyak mengajari saya bagaiamana seharusnya kita bersikap dalam melakukan proses belajar mengajar. “mengajar itu bukan hanya tentang memahamkan peserta didik akan materi-materi pelajaran, tapi juga membuat peserta didik nyaman dan ingin mengulangi momen belajar.” Demikianlah salah satu pernyataannya yang membuat saya terbuka untuk menilai diri saya sendiri. kalimat singkat tersebut membuat saya bersemangat dan benar-benar mengetahui jalur mana yang harus dilalui ketika pertama kali berhadapan dengan peserta didik.

Kenyataan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita dewasa ini memang begitu memiriskan. Entahlah apa yang membuat hal tersebut terjadi. Bukankah setiap 6 bulan sekali bangsa ini memiliki wisudawan calon guru sebanyak ratusan ribu lulusan? Lantas bagaimana peran mereka sejauh ini? Saya jadi bersepsi mungkin pendidikan yang kita tengah laksanakan dewasa ini adalah pendidikan yang hanya berorientasi proses pemindahan pengetahuan tanpa membawa wacana moral dalam proses itu. ini tentunya berbahaya, bukankah pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia?

Jika melihat kenyataan seperti yang saya sebutkan di atas, keberhasilan pendidikan kita semakin hari semakin membias. Maka dari itu seyogyanya ada solusi yang kongkrit untuk menangani hal tersebut guna menakar kualitas pendidikan yang baik serta mampu menjadi gerbong kehidupan untuk memperbaiki peradaban umat manusia.

Salah satu cara untuk memperbaiki kulitas murid adalah dengan memperbaiki kualitas guru, maka dari itu, sebagai seorang calon guru, sudah sewajarnya untuk benar-benar membekali diri, tidak hanya dengan beban SKS yang diciptakan kampus tapi dengan perasaan tanggung jawab moral yang selalu di pundak. Hal tersebut agar seorang calon guru menjadi sosok yang berpribadi luhur dengan pengetahuan yang matang.

Pernah sesekali saya main ke kos-kosan teman saya di dekat kampus “M.” Disana saya menemukan sepasang muda mudi yang tengah asyik bercumbu. Tanpa ada malu, cumbu rayu mereka berlangsung ke dalam kamar kos. Awalnya saya tidak mau berkomentar banyak menanggapi hal tersebut, karena memang hal demikian mulai lumrah dalam tatanan masyarakat kota, tapi saya begitu tersentak ketika mengetahui bahwa pasangan muda-mudi itu adalah mahasiswa mahasiswi jurusan Ilmu Pendidikan Sosial (IPS) di salah satu kampus swasta di kota ini. Saya langsung tertegun dan kelu mulut begitu merasuk ke dalam hati, ”jika calon guru bertingkah demikian, maka bagaimana dengan murid yang akan kelak ia hasilkan dengan keguruannya?”

Itulah kenapa kemudian penting sekali wacana moralitas dalam pendidikan. Saya tidak tahu apakah konsep ini sudah ada dalam kurikulum pendidikan bangsa kita saat ini, yang jelas hasil pendidikan yang kacau balau membuat saya merasa ada yang salah dengan pendidikan. Memang dalam klasifikasi akademik, saya tidak mengambil jurusan yang berkoridor pendidikan, tapi kenyataan yang terjadi membuat siapapun harus berfikir, bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab para mahasiswa yang kuliah di jurusan pendidikan. Seluruh manusia bekewajiban untuk menggunakan pengetahuannya pada misi besar pendidikan yaitu “memanusiakan manusia.”

Semoga generasi-generasi pendidik kita seiring waktu semakin bermartabat dan bisa mengurai benang kusut permasalahan pendidikan kita yang sudah begitu konfleks. Kita berdoa guru-guru kita yang baik itu terus diberi kekuatan untuk berjuang memanusiakan manusia serta menjaga diri untuk tidak larut dalam arus kebobrokan zaman. Sebagai yang perannya abadi, seorang guru haruslah menancapkan misi abadi dalam tekadnya. Yaitu sebuah tekad untuk berperang melawan kebodohan dan kebobrokan. 

Posting Komentar untuk " Guru dan Peran yang Mengabadi (Refleksi Hari Guru)"